Skuadron Penerbangan 19 hilang di Segitiga Bermuda. 14 krunya raib.
Segitiga Bermuda (NASA)
Pada
5 Desember 1945, sebuah kejadian misterius terjadi. Skuadron yang
terdiri atas lima pembom torpedo Angkatan Laut hilang tanpa jejak di
sebuah wilayah yang mashyur kehororannya di dunia, Segitiga Bermuda.
Hilangnya 14 kru Penerbangan 19 (Flight 19) itu merupakan salah satu misteri terbesar dalam dunia penerbangan.
65
tahun berlalu, peristiwa ini belum terlupakan. Minggu 5 Desember 2010
mendatang, seperti yang dilakukan dalam 26 tahun terakhir, para
simpatisan akan berkumpul di Bandara Internasional Fort Lauderdale,
Hollywood untuk memperingati kejadian ini.
"Kami ingin
memastikan, sejarah ini tak terlupakan," kata Izzy Bonilla, Deputi
Direktur Broward County Aviation Department, seperti dimuat situs Sun Sentinel.
"Kami ingin mengingat mereka yang tak pernah kembali dan terlebih jasa mereka untuk negara."
Jangankan
badan para serdadu, serpihan mereka tak pernah ditemukan. Kisah
lenyapnya Penerbangan 19 makin menguatkan mitos Segitiga Bermuda -
sebuah garis imajiner yang menghubungkan Kepulauan Bermuda, Puerto Rico,
dan Fort Lauderdale - di mana sekian kapal dan pesawat hilang secara
misterius.
Sebelumnya, sejumlah sejarawan dan investigator
kelautan menduga skuadron nahas itu mengalami disorientasi di tengah
cuaca buruk dan kegelapan malam. Mereka diyakini kehabisan bahan-bahan
dan mengalami kecelakaan di lautan timur Daytona Beach.
Dan sejarah mencatat kejadian di hari maut itu:
Pada
jam 14.10 waktu setempat, di bawah komando Letnan Charles Taylor, lima
pengebom torpedo TBM Avenger bermesin tunggal keluar dari pangkalan
udara Fort Lauderdale. Mereka hanya melakukan misi rutin, termasuk
berlatih menjatuhkan bom dan latihan navigasi.
Meski Perang Dunia II sudah berhenti tiga bulan sebelumnya, militer berketetapan untuk terus waspada dan berlatih.
Sekitar
90 menit setelah lepas landas, Letnan Taylor lewat radio melaporkan,
tim tersesat dan kompas tidak berfungsi. "Kami tak tahu, ini di mana,"
kata dia.
Selama dua jam kemudian, Letnan Taylor mengarahkan
pesawat - yang ia kira menuju Miami - namun nyatanya justru mengarah ke
Samudera Atlantik.
Basis angkatan laut di Miami sempat
mendapatkan sinyal samar-samar dari skuadron tersebut di sekitar 150 mil
dari lepas pantai New Smyrna Beach. Panggilan terakhir yang dilakukan
skuadron terjadi pada pukul 19.27.
Tim penyelamat pun
diberangkatkan. Pesawat amfibi berbadan besar dengan mesin ganda
dikirim dari pangkalan Banana River di Central Florida. Namun, pesawat
itu justru jatuh ke laut ganas. 13 orang penumpangnya tewas seketika.
Hari
berikutnya, salah satu pencarian kecelakaan terbesar dalam sejarah
dilakukan. Tim SAR menyisir area seluas 200.000 mil persegi. Letnan
David White, salah dalam tim pencari menceritakan, pesawat dan kapal
pencari mencari apapun yang mungkin tersisa - jaket pelampung atau
serpihan pesawat.
Namun, "Tak ada tanda-tanda serpihan," kata White yang saat ini berusia 86 tahun. "Ini luar biasa."
Saat
mencari keesokan paginya, diduga puing-puing mungkin sampai di lepas
pantai Georgia. Pesawat TBM Avengers, menurut White, kemungkinan pecah
pada saat berusaha mendarat di laut .
Sementara itu, Allan
McElhiney, panitia peringatan tragedi Flight 19 mengatakan, para anggota
skuadron tidak memiliki pilihan selain mengikuti Taylor ketika berada
di atas Atlantik. Menuju kematian mereka.
"Bahkan jika mereka ingin berbalik ke arah lain, mereka harus mengikuti pemimpin," katanya.
Menurut
McElhiney, selain anggota skuadron Penerbangan 19, peringatan juga
ditujukan untuk 13 korban dalam pesawat penyelamat. Selain itu,
peringatan untuk 96 serdadu lain yang tewas selama bertugas di pangkalan
udara Angkatan Laut Fort Lauderdale saat perang berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar